Minggu, 27 Mei 2018

PLAGIAT DALAM BERINTERNET



Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dikatakan:
“Plagiat adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai”

Dunia sudah semudah ini, ngapain susah-susah nyari kata-kata romantis dan puitis. Cukup googling aja. Mau buat tugas tidak perlu repot-repot ngabisin tenaga ke perpustakaan, cukup googling. Dan yang tidak punya jodoh, cukup tanya sama google di mana keberadaannya kini.

Sering kita mendengar kasus berita copas tulisan orang lain, seperti sudah membudaya. Malah korban capek-capek mikir dan menulis. Namun dicomot orang lain, hasilnya yang nyolong karya orang malah terkenal. Tulisan atau jokenya dianggap hasil kerja kerasnya dianggap karya sang plagiat. Nyesek bukan!! Apalagi sudah keseringan.

Kebiasaan copas menurut saya berasal dari salah satu kebiasaan buruk bernama “nyontek”. Budaya itu sudah mendarah daging dan dianggap keharusan. Teman yang rajin dan pintar dipaksa teman-temannya untuk belajar habis-habisan jelang ujian. Yang malas malah berleha-leha dengan gembiranya.

Pengalaman yang pernah saya alami sendiri saat memberikan contekan tugas kepada teman. Di dalam dunia kampus sudah bukan hal asing bahwa semakin pintar seseorang maka semakin banyak teman palsu yang tiba-tiba baik. Pura-pura nyapa waktu ada tugas, tiba-tiba traktir hingga ada yang terang-terangan minta contekan.

Jelas mengganggu banget dan keseringan malah jadi keenakan. Niat membantu karena teman tidak bisa tetapi menjurus memuluskan langkah makin malas belajar. Pengalaman buruk saya adalah pernah hampir mendapatkan SP (Surat Peringatan) pada salah satu mata kuliah praktikum laboratorium karena ada teman yang copas (read: meniru) tugas.

File yang saya kasih agar teman bisa belajar serta referensi malah di copas bulat-bulat. Sungguh perilaku buruk dan saya dipanggil bersama teman yang copas oleh asisten laboratorium terkait untuk diinterogasi. Hasilnya saya mendapat pengurangan nilai akibat mempermudah orang lain melakukan aksi curang. Semenjak itu saya berusaha tidak memberi contekan atau copas dengan teman-teman. #Nyesek.

“Plagiat, kebiasaan salah yang sudah keenakan”

Ini penyebabnya :
Kemudahan dengan lahirnya perangkat teknologi serta internet makin ngebut, semakin memudahkan copas dan aksi plagiat. Zaman dulu, meniru itu butuh usaha yang ekstra. Misalnya pinjam catatan harus disalin terlebih dahulu, hingga membuat jari-jari perih. Tugas dilakukan di tengah malam hari, sekarang... hanya modal Cltr + A, Cltr + C dan Cltr + V. Langsung jadi tugasnya, sisanya cuma edit manis yang tidak butuh usaha.

Kembali ke kasus kita, plagiat atau copas membuat pelakunya malah kesenangan. Awal mulanya sedikit takut apa yang ia copas ketahuan, hasilnya copas yang ia ambil malah sukses besar. Di tingkat pendidikan ia mendapatkan nilai yang bagus, di dunia kepenulisan tulisannya terbit ke majalah terkemuka dan di dunia sosial media hasil copasnya menghasilkan pengikut setia dan uang berlimpah.

Saya mau membahas mengapa plagiat begitu gampang dan menjadikan plagiat sebuah kebiasaan dan pembiasaan. Alasan-alasan yang ngga masuk akal jadi pembenaran budaya copas, apa sajakah itu?

Pertama, malas membaca. Penyebab utama dengan mudah orang mengambil hak cipta orang lain. Menulis dan membaca adalah komponen kompleks yang sulit dipisahkan. Suka membaca tapi tak suka menulis hanya menjadikan sebagai pembaca tanpa karya. Suka menulis tapi malas membaca, tulisan terasa kosong tanpa makna. Keduanya perlu, di saat jadi pembaca kita memperhatikan sudut pandang pembaca ingin. Lalu saat jadi penulis kita menulis apa yang pembaca inginkan. Keduanya komponen sama kuat membuat rasa menghargai karya orang lain begitu besar. Serta menginginkan punya karya sendiri (tulisan) yang sama baiknya dengan yang kamu baca.

Kedua, budaya menyontek jadi alasan tingginya kasus plagisasi dari bangku sekolah hingga perguruan tinggi. Patokan nilai bagus adalah segala-galanya dalam kelulusan bukan kejujuran jadi alasan kenapa budaya menyontek merajalela. Kurangnya pengawasan serta nilai dianggap standar patokan wajib kelulusan, maka melahirkan budaya nyontek. Lebih bangga dapat nilai bagus hasil menyontek dibandingkan nilai jelek tapi jujur. 

Ketiga, ingin dikenal punya karya dengan cara mengcopas tulisan orang lain secara mentah-mentah. Haus rasa pengakuan bahwa pelaku ingin membuktikan punya karya dan dikenal. Terlihat sangat produktif walaupun sebenarnya bertopeng dari karya orang. Lebih baik punya karya jelek dan sedikit dibandingkan punya banyak karya tapi copas punya orang lain semua. Berkarya ngga harus ada pengakuan, tapi cukup kamu sendiri tau bahwa kamu mampu berkarya tanpa diakui.

Keempat, mencari keuntungan apalagi begitu banyak perlombaan yang diadakan oleh berbagai pihak dengan hadiah tertentu. Siapa sih yang ngga tergiur, cara paling mudah adalah mengambil hak cipta orang lain apalagi tulisan yang ia dapatkan berkenaan dengan judul lomba. Berkat semakin mudahnya zaman dengan dukungan internet, langsung deh mencaplok karya bagus tapi tak penulisnya kurang familiar.

Solusinya Bagaimana?

Budaya copas sudah bisa diperangi, apalagi banyak pihak yang dirugikan terus-terusan serta banyak pembaca yang tidak tau malah tertipu terus-terusan. Salah satunya komitmen belajar, salah satunya dari karya tulis para senior.

Semua yang menghasilkan karya pasti belajar dari pendahulunya yang terlebih dahulu mengecap asam garam. Istilahnya adalah terinspirasi untuk menghasilkan karya yang serupa, dalam tahap belajar meniru itu ngga masalah. Apakah itu teknik penulisan, gaya bahasa hingga pembawaan. Seiring dengan berjalannya waktu kamu akan mendapatkan gaya bahasa dan pembawaan sendiri yang mengalir dan itu “kamu banget”

Cara lain menindak tegas pelaku copas. Ini sangat berharga ke depan untuk menindak tegas yang memiliki kebiasaan plagiat. Bagi yang belum ketahuan bisa segera tobat dan menyesal. Karena setiap karya yang orang tulis butuh segala perjuangan yang tidak sekejap tapi bertahap. Bila kamu mau seperti itu, lalui dulu tahap demi tahap bukan mengabaikan semua tahap dengan untuk mencapai hasil instan.

Semoga tulisan ini menyadarkan karena bangga hasil tulisan pribadi lebih baik dibandingkan dengan percaya dirinya bangga pada karya orang lain. Dan sekali lagi, semoga menginspirasi.

Ini karyaku, mana karyamu?

COPYRIGHT © 2017