Menurut
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010
dikatakan:
“Plagiat
adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba
memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian
atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya
ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai”
Dunia
sudah semudah ini, ngapain susah-susah nyari kata-kata romantis dan puitis.
Cukup googling aja. Mau buat tugas tidak perlu repot-repot ngabisin tenaga ke
perpustakaan, cukup googling. Dan yang tidak punya jodoh, cukup tanya sama google
di mana keberadaannya kini.
Sering
kita mendengar kasus berita copas tulisan orang lain, seperti sudah membudaya.
Malah korban capek-capek mikir dan menulis. Namun dicomot orang lain, hasilnya
yang nyolong karya orang malah terkenal. Tulisan atau jokenya dianggap hasil
kerja kerasnya dianggap karya sang plagiat. Nyesek bukan!! Apalagi sudah
keseringan.
Kebiasaan
copas menurut saya berasal dari salah satu kebiasaan buruk bernama “nyontek”.
Budaya itu sudah mendarah daging dan dianggap keharusan. Teman yang rajin dan
pintar dipaksa teman-temannya untuk belajar habis-habisan jelang ujian. Yang
malas malah berleha-leha dengan gembiranya.
Pengalaman
yang pernah saya alami sendiri saat memberikan contekan tugas kepada teman. Di
dalam dunia kampus sudah bukan hal asing bahwa semakin pintar seseorang maka
semakin banyak teman palsu yang tiba-tiba baik. Pura-pura nyapa waktu ada
tugas, tiba-tiba traktir hingga ada yang terang-terangan minta contekan.
Jelas
mengganggu banget dan keseringan malah jadi keenakan. Niat membantu karena
teman tidak bisa tetapi menjurus memuluskan langkah makin malas belajar.
Pengalaman buruk saya adalah pernah hampir mendapatkan SP (Surat Peringatan) pada
salah satu mata kuliah praktikum laboratorium karena ada teman yang copas
(read: meniru) tugas.
File
yang saya kasih agar teman bisa belajar serta referensi malah di copas
bulat-bulat. Sungguh perilaku buruk dan saya dipanggil bersama teman yang copas
oleh asisten laboratorium terkait untuk diinterogasi. Hasilnya saya mendapat
pengurangan nilai akibat mempermudah orang lain melakukan aksi curang. Semenjak
itu saya berusaha tidak memberi contekan atau copas dengan teman-teman. #Nyesek.
“Plagiat,
kebiasaan salah yang sudah keenakan”
Ini
penyebabnya :
Kemudahan
dengan lahirnya perangkat teknologi serta internet makin ngebut, semakin
memudahkan copas dan aksi plagiat. Zaman dulu, meniru itu butuh usaha yang
ekstra. Misalnya pinjam catatan harus disalin terlebih dahulu, hingga membuat
jari-jari perih. Tugas dilakukan di tengah malam hari, sekarang... hanya modal
Cltr + A, Cltr + C dan Cltr + V. Langsung jadi tugasnya, sisanya cuma edit
manis yang tidak butuh usaha.
Kembali
ke kasus kita, plagiat atau copas membuat pelakunya malah kesenangan. Awal
mulanya sedikit takut apa yang ia copas ketahuan, hasilnya copas yang ia ambil
malah sukses besar. Di tingkat pendidikan ia mendapatkan nilai yang bagus, di
dunia kepenulisan tulisannya terbit ke majalah terkemuka dan di dunia sosial
media hasil copasnya menghasilkan pengikut setia dan uang berlimpah.
Saya mau membahas mengapa plagiat begitu gampang dan menjadikan plagiat sebuah
kebiasaan dan pembiasaan. Alasan-alasan yang ngga masuk akal jadi pembenaran
budaya copas, apa sajakah itu?
Pertama,
malas membaca. Penyebab utama dengan mudah orang mengambil hak cipta orang
lain. Menulis dan membaca adalah komponen kompleks yang sulit dipisahkan. Suka
membaca tapi tak suka menulis hanya menjadikan sebagai pembaca tanpa karya.
Suka menulis tapi malas membaca, tulisan terasa kosong tanpa makna. Keduanya
perlu, di saat jadi pembaca kita memperhatikan sudut pandang pembaca ingin.
Lalu saat jadi penulis kita menulis apa yang pembaca inginkan. Keduanya
komponen sama kuat membuat rasa menghargai karya orang lain begitu besar. Serta
menginginkan punya karya sendiri (tulisan) yang sama baiknya dengan yang kamu
baca.
Kedua,
budaya menyontek jadi alasan tingginya kasus plagisasi dari bangku sekolah
hingga perguruan tinggi. Patokan nilai bagus adalah segala-galanya dalam
kelulusan bukan kejujuran jadi alasan kenapa budaya menyontek merajalela.
Kurangnya pengawasan serta nilai dianggap standar patokan wajib kelulusan, maka
melahirkan budaya nyontek. Lebih bangga dapat nilai bagus hasil menyontek
dibandingkan nilai jelek tapi jujur.
Ketiga,
ingin dikenal punya karya dengan cara mengcopas tulisan orang lain secara
mentah-mentah. Haus rasa pengakuan bahwa pelaku ingin membuktikan punya karya
dan dikenal. Terlihat sangat produktif walaupun sebenarnya bertopeng dari karya
orang. Lebih baik punya karya jelek dan sedikit dibandingkan punya banyak karya
tapi copas punya orang lain semua. Berkarya ngga harus ada pengakuan, tapi
cukup kamu sendiri tau bahwa kamu mampu berkarya tanpa diakui.
Keempat,
mencari keuntungan apalagi begitu banyak perlombaan yang diadakan oleh berbagai
pihak dengan hadiah tertentu. Siapa sih yang ngga tergiur, cara paling mudah
adalah mengambil hak cipta orang lain apalagi tulisan yang ia dapatkan
berkenaan dengan judul lomba. Berkat semakin mudahnya zaman dengan dukungan
internet, langsung deh mencaplok karya bagus tapi tak penulisnya kurang
familiar.
Solusinya
Bagaimana?
Budaya
copas sudah bisa diperangi, apalagi banyak pihak yang dirugikan terus-terusan
serta banyak pembaca yang tidak tau malah tertipu terus-terusan. Salah satunya
komitmen belajar, salah satunya dari karya tulis para senior.
Semua
yang menghasilkan karya pasti belajar dari pendahulunya yang terlebih dahulu
mengecap asam garam. Istilahnya adalah terinspirasi untuk menghasilkan karya
yang serupa, dalam tahap belajar meniru itu ngga masalah. Apakah itu teknik
penulisan, gaya bahasa hingga pembawaan. Seiring dengan berjalannya waktu kamu
akan mendapatkan gaya bahasa dan pembawaan sendiri yang mengalir dan itu “kamu
banget”
Cara
lain menindak tegas pelaku copas. Ini sangat berharga ke depan untuk menindak
tegas yang memiliki kebiasaan plagiat. Bagi yang belum ketahuan bisa segera
tobat dan menyesal. Karena setiap karya yang orang tulis butuh segala
perjuangan yang tidak sekejap tapi bertahap. Bila kamu mau seperti itu, lalui
dulu tahap demi tahap bukan mengabaikan semua tahap dengan untuk mencapai hasil
instan.
Semoga
tulisan ini menyadarkan karena bangga hasil tulisan pribadi lebih baik
dibandingkan dengan percaya dirinya bangga pada karya orang lain. Dan sekali
lagi, semoga menginspirasi.
Ini
karyaku, mana karyamu?